Sebatas Rindu dan Kamu Yang Selalu Aku Semogakan Dalam Doaku

Ini adalah hanya sepotong cerita tentang rindu. Tentang dimana kita yang gemar berbagi cerita, menyingkap rahasia, kemudian kembali memeluk gelisah usai bicara tanpa arah.

Benar katamu, kita terlalu asyik menunda berpapasan dengan realita. Mengabaikan ragu di dada, yang tidak dapat tersampaikan lewat bicara. Lalu kita lupa, bahwa luka perlu diobati, bukan ditutupi dengan sebuah temu agar supaya lupa.

“Hey Bung, sebenarnya kita tidak selamanya muda. Udah seharusnya bisa nentuin kapan harus milih. Kalau sudah bisa memilih, jangan ragu lagi. Hal seperti agama, keyakinan dan Tuhan jauh harus lebih dibela meskipun korbannya perasaan sendiri.” begitu katamu waktu itu.

Yang kamu bilang itu benar. Aku memang tidak banyak berkata waktu itu. Tetapi aku rasa, kamu pun mengerti. Tidak banyak berkata bukan berarti tidak bisa merasa, iya kan.?

Saingan itu jangan sama Tuhan, Bung. Pastilah kamu akan kalah.” ujar seorang teman.

Dan saat ini, aku merasa rindu. Aku rindu kamu. Tetapi temanku bilang, jika rindu itu datang, masukan saja rindu itu ke dalam kotak kaca, nanti juga bisu dan beku dengan sendirinya. Jangan pernah bertanya berapa kali aku mencobanya. Setiap malam warasku selalu tersungkur dihadapan rindu usai diobrak-abrik olehnya yang kian jemawa. Mencari letak akhir, yang belum pernah selelah ini.

“Tolong tanya Tuhanmu, jika tidak bisa memiliki, bolehkah aku yang bukan hambanya menyayangi umatnya yang satu ini.?” itu kata dalam tulisanmu waktu itu.

Sudah enam tahun lewat, pertanyaan ini masih didalam benak dan haruskah kutanyakan kepadanya.?

Aku menulis ini agar kamu tahu bahwa aku merindukanmu, karena aku sudah tidak pandai lagi berucap dan bahasa sudah terlalu lelah untuk mengungkap. Namun, percayalah, tulisan ini bukanlah bentuk pinta aku untuk memilikimu kembali. Ku ulangi lagi, ini hanya rindu. Karena kalo kembali kesana adalah sangat begitu jauh dan tidak bisa diejawantahkan oleh rasa. Kembali kesana berarti membuka tabir memori lama. dan kamu pun enggan, begitu pula aku. iya kan.!

Kemarin pagi sempat gerimis turun. Ia bersuara pelan kemudian menyusup dalam sisa malamku yang terjaga. Menyisihkan sepertiga pagi, menulis tentangmu hingga muncul matahari, sepertinya telah menjadi kesenangan baru bagiku yang entah sampai kapan akan kulakukan. Entah yang selalu kusemogakan agar selalu baik-baik saja.

Bunda Mariamu benar, kita takkan pernah bisa sampai pada akhiran. Dan yang tidak banyak berkata, justru menyimpan lara lebih lama. dan aku mengerti meskipun kita berbeda dan tidak bisa bersatu tapi kamu wanita yang selalu aku semogakan di setiap doa dalam sujudku.